Kumpulan cerita dewasa / cerita ngentot /cerita porno / hanya untuk orang_orang sudah dewasa.. Di rangkum dari berbagai sumber
7.30.2010
perintah mbak lia
Mbak Lia kurang lebih baru 2  minggu bekerja  sebagai atasanku sebagai Accounting  Manager. Sebagai atasan baru, ia sering  memanggilku ke ruang kerjanya untuk  menjelaskan overbudget yang terjadi pada  bulan sebelumnya, atau untuk menjelaskan  laporan mingguan yang kubuat. Aku sendiri  sudah termasuk staf senior. Tapi mungkin  karena latar belakang pendidikanku tidak cukup mendukung, management memutuskan  merekrutnya. Ia berasal dari sebuah  perusahaan konsultan keuangan.  Usianya kutaksir sekitar 25  hingga 30  tahun.  Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil "Bu",  walau usiaku sendiri 10  tahun di atasnya. Tapi  atas permintaanya sendiri, seminggu yang lalu, ia mengatakan lebih suka bila di panggil "Mbak". Sejak saat itu mulai terbina suasana dan  hubungan kerja yang hangat, tidak terlalu  formal. Terutama karena sikapnya yang ramah. Ia sering langsung menyebut namaku, sesekali  bila sedang bersama rekan kerja lainnya, ia  menyebut "Pak".  Dan tanpa kusadari pula, diam-diam aku merasa betah dan nyaman bila memandang wajahnya  yang cantik dan lembut menawan. Ia memang  menawan karena sepasang bola matanya  sewaktu-waktu dapat bernar-binar, atau  menatap dengan tajam. Tapi di balik itu semua,  ternyata ia suka mendikte. Mungkin karena  telah menduduki jabatan yang cukup tinggi  dalam usia yang relatif muda, kepercayaan  dirinya pun cukup tinggi untuk menyuruh  seseorang melaksanakan apa yang  diinginkannya.  Mbak Lia selalu berpakaian formal. Ia selalu  mengenakan blus dan rok hitam yang agak  menggantung sedikit di atas lutut. Bila sedang berada di ruang kerjanya, diam-diam aku pun  sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangkit mengambil file dari rak folder di  belakangnya. Walau bagian bawah roknya  lebar, tetapi aku dapat melihat pinggul yang  samar-samar tercetak dari baliknya. Sangat  menarik, tidak besar tetapi jelas bentuknya  membongkah, memaksa mata lelaki  menerawang untuk mereka-reka keindahannya. Di dalam ruang kerjanya yang besar, persis di  samping meja kerjanya, terdapat seperangkat  sofa yang sering dipergunakannya menerima  tamu-tamu perusahaan. Sebagai Accounting  Manager, tentu selalu ada pembicaraan- pembicaraan 'privacy' yang lebih nyaman  dilakukan di ruang kerjanya daripada di ruang  rapat.  Aku merasa beruntung bila dipanggil Mbak Lia  untuk membahas cash flow keuangan di kursi  sofa itu. Aku selalu duduk persis di depannya.  Dan bila kami terlibat dalam pembicaraan yang  cukup serius, ia tidak menyadari roknya yang  agak tersingkap. Di situlah keberuntunganku.  Aku dapat melirik sebagian kulit paha yang  berwarna gading. Kadang-kadang lututnya  agak sedikit terbuka sehingga aku berusaha  untuk mengintip ujung pahanya. Tapi mataku  selalu terbentur dalam kegelapan. Andai saja  roknya tersingkap lebih tinggi dan kedua  lututnya lebih terbuka, tentu akan dapat  kupastikan apakah bulu-bulu halus yang  tumbuh di lengannya juga tumbuh di sepanjang  paha hingga ke pangkalnya. Bila kedua  lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke  betisnya. Betis yang indah dan bersih.  Terawat. Ketika aku terlena menatap kakinya,  tiba-tiba aku dikejutkan oleh pertanyaan Mbak Lia..  "Theo, aku merasa bahwa kau sering melirik ke  arah betisku. Apakah dugaanku salah?" Aku  terdiam sejenak sambil tersenyum untuk  menyembunyikan jantungku yang tiba-tiba  berdebar.  "Theo, salahkah dugaanku?"  "Hmm.., ya, benar Mbak," jawabku mengaku,  jujur. Mbak Lia tersenyum sambil menatap  mataku.  "Mengapa?"  Aku membisu. Terasa sangat berat menjawab  pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika  menengadah menatap wajahnya, kulihat bola  matanya berbinar-binar menunggu jawabanku.  "Saya suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah.  Dan..," setelah menarik nafas panjang,  kukatakan alasan sebenarnya.  "Saya juga sering menduga-duga, apakah kaki  Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu."  "Persis seperti yang kuduga, kau pasti berkata jujur, apa adanya," kata Mbak Tia sambil  sedikit mendorong kursi rodanya.  "Agar kau tidak penasaran menduga-duga,  bagaimana kalau kuberi kesempatan  memeriksanya sendiri?"  "Sebuah kehormatan besar untukku," jawabku  sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit  bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang  kaku itu.  "Kompensasinya apa?"  "Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih,  akan kuberikan sebuah ciuman."  "Bagus, aku suka. Bagian mana yang akan kau  cium?"  "Betis yang indah itu!"  "Hanya sebuah ciuman?"  "Seribu kali pun aku bersedia."  Mbak Tia tersenyum manis dikulum. Ia  berusaha manahan tawanya.  "Dan aku yang menentukan di bagian mana saja yang harus kau cium, OK?"  "Deal, my lady!"  "I like it!" kata Mbak Lia sambil bangkit dari  sofa.  Ia melangkah ke mejanya lalu menarik kursinya  hingga ke luar dari kolong mejanya yang besar.  Setelah menghempaskan pinggulnya di atas  kursi kursi kerjanya yang besar dan empuk itu,  Mbak Lia tersenyum. Matanya berbinar-binar  seolah menaburkan sejuta pesona birahi.  Pesona yang membutuhkan sanjungan dan  pujaan.  "Periksalah, Theo. Berlutut di depanku!" Aku  membisu. Terpana mendengar perintahnya.  "Kau tidak ingin memeriksanya, Theo?" tanya  Mbak Lia sambil sedikit merenggangkan kedua  lututnya.  Sejenak, aku berusaha meredakan debar-debar  jantungku. Aku belum pernah diperintah  seperti itu. Apalagi diperintah untuk berlutut  oleh seorang wanita. Bibir Mbak Lia masih  tetap tersenyum ketika ia lebih  merenggangkan kedua lututnya.  "Theo, kau tahu warna apa yang tersembunyi  di pangkal pahaku?" Aku menggeleng lemah,  seolah ada kekuatan yang tiba-tiba merampas  sendi-sendi di sekujur tubuhku.  Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di  antara celah lutut Mbak Lia yang meregang.  Akhirnya aku bangkit menghampirinya, dan  berlutut di depannya. Sebelah lututku  menyentuh karpet. Wajahku menengadah.  Mbak Tia masih tersenyum. Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa kali, lalu berpindah  ke rambutku, dan sedikit menekan kepalaku  agar menunduk ke arah kakinya.  "Ingin tahu warnanya?" Aku mengangguk tak  berdaya.  "Kunci dulu pintu itu," katanya sambil  menunjuk pintu ruang kerjanya. Dan dengan  patuh aku melaksanakan perintahnya,  kemudian berlutut kembali di depannya.  Mbak Lia menopangkan kaki kanannya di atas  kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti  bermalas-malasan. Pada saat itulah aku  mendapat kesempatan memandang hingga ke  pangkal pahanya. Dan kali ini tatapanku  terbentur pada secarik kain tipis berwarna  putih. Pasti ia memakai G-String, kataku dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar  tertopang di atas paha kirinya, aku masih  sempat melihat bulu-bulu ikal yang menyembul dari sisi-sisi celana dalamnya. Segitiga tipis  yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk menyembunyikan semua bulu yang  mengitari pangkal pahanya. Bahkan sempat  kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga  tipis itu.  "Suka?" Aku mengangguk sambil mengangkat  kaki kiri Mbak Lia ke atas lututku.  Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk.  Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu aku  menengadah. Sambil melepaskan sepatu itu.  Mbak Tia mengangguk. Tak ada komentar  penolakan. Aku menunduk kembali. Mengelus- elus pergelangan kakinya. Kakinya mulus tanpa cacat. Ternyata betisnya yang berwarna  gading itu mulus tanpa bulu halus. Tapi di  bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi  bulu-bulu halus yang agak kehitaman. Sangat  kontras dengan warna kulitnya. Aku terpana.  Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga..,  hingga.. Aah, aku menghembuskan nafas.  Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku  sangat dekat dengan lututnya. Hembusan  nafasku ternyata membuat bulu-bulu itu  meremang.  "Indah sekali," kataku sambil mengelus-elus  betisnya. Kenyal.  "Suka, Theo?" Aku mengangguk.  "Tunjukkan bahwa kau suka. Tunjukkan bahwa  betisku indah!"  Aku mengangkat kaki Mbak Lia dari lututku.  Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan  kaki yang menekuk itu. Aku sedikit  membungkuk agar dapat mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yang kedua, aku  menjulurkan lidah agar dapat mengecup sambil  menjilat, mencicipi kaki indah itu. Akibat  kecupanku, Mbak Lia menurunkan paha kanan  dari paha kirinya. Dan tak sengaja, kembali  mataku terpesona melihat bagian dalam  kanannya. Karena ingin melihat lebih jelas,  kugigit bagian bawah roknya lalu  menggerakkan kepalaku ke arah perutnya.  Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa  tertahan, lalu ujung jari-jari tangan Mbak Lia  mengangkat daguku. Aku menengadah.  "Kurang jelas, Theo?" Aku mengangguk.  Mbak Lia tersenyum nakal sambil mengusap- usap rambutku. Lalu telapak tangannya  menekan bagian belakang kepalaku sehingga  aku menunduk kembali. Di depan mataku kini  terpampang keindahan pahanya. Tak pernah  aku melihat paha semulus dan seindah itu.  Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu-bulu halus kehitaman. Bagian dalamnya juga ditumbuhi  tetapi tidak selebat bagian atasnya, dan  warna kehitaman itu agak memudar. Sangat  kontras dengan pahanya yang berwarna  gading.  Aku merinding. Karena ingin melihat paha itu  lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bagian dalam lututnya.  Dan paha itu semakin jelas. Menawan. Di paha  bagian belakang mulus tanpa bulu. Karena  gemas, kukecup berulang kali. Kecupan- kecupanku semakin lama semakin tinggi. Dan  ketika hanya berjarak kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan- kecupanku berubah menjadi ciuman yang panas  dan basah.  Sekarang hidungku sangat dekat dengan  segitiga yang menutupi pangkal pahanya.  Karena sangat dekat, walau tersembunyi,  dengan jelas dapat kulihat bayangan bibir  kewanitaannya. Ada segaris kebasahan  terselip membayang di bagian tengah segitiga  itu. Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut  ikal yang menyelip dari kiri kanan G-stringnya.  Sambil menatap pesona di depan mataku, aku  menarik nafas dalam-dalam. Tercium aroma  segar yang membuatku menjadi semakin tak  berdaya. Aroma yang memaksaku  terperangkap di antara kedua belah paha Mbak  Lia. Ingin kusergap aroma itu dan menjilat  kemulusannya.  Mbak Lia menghempaskan kepalanya ke  sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali.  Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya  kaki kanannya sehingga roknya semakin  tersingkap hingga tertahan di atas pangkal  paha.  "Suka Theo?"  "Hmm.. Hmm..!" jawabku bergumam sambil  memindahkan ciuman ke betis dan lutut  kirinya.  Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya, dan  meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium  lipatan di belakang lututnya. Mbak Lia  menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja. Lalu ketika ciuman-ciumanku merambat  ke paha bagian dalam dan semakin lama  semakin mendekati pangkal pahanya, terasa  tarikan di rambutku semakin keras. Dan ketika  bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal  yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba- tiba Mbak Lia mendorong kepalaku.  Aku tertegun. Menengadah. Kami saling  menatap. Tak lama kemudian, sambil  tersenyum menggoda, Mbak Lia menarik  telapak kakinya dari pundakku. Ia lalu menekuk  dan meletakkan telapak kaki kanannya di  permukaan kursi. Pose yang sangat  memabukkan. Sebelah kaki menekuk dan  terbuka lebar di atas kursi, dan yang sebelah  lagi menjuntai ke karpet.  "Suka Theo?"  "Hmm.. Hmm..!"  "Jawab!"  "Suka sekali!"  Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Tia merapatkan kedua pahanya sambil menarik  rambutku.  "Nanti ada yang melihat bayangan kita dari  balik kaca. Masuk ke dalam, Theo," katanya  sambil menunjuk kolong mejanya.  Aku terkesima. Mbak Tia merenggut bagian  belakang kepalaku, dan menariknya perlahan.  Aku tak berdaya. Tarikan perlahan itu tak  mampu kutolak. Lalu Mbak Lia tiba-tiba  membuka ke dua pahanya dan mendaratkan  mulut dan hidungku di pangkal paha itu.  Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir  kewanitaan terlihat semakin jelas. Semakin  basah. Dan di situlah hidungku mendarat. Aku  menarik nafas untuk menghirup aroma yang  sangat menyegarkan. Aroma yang sedikit  seperti daun pandan tetapi mampu membius  saraf-saraf di rongga kepala.  "Suka Theo?"  "Hmm.. Hmm..!"  "Sekarang masuk ke dalam!" ulangnya sambil  menunjuk kolong mejanya.  Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku sudah  tak dapat berpikir waras. Tak peduli dengan  segala kegilaan yang sedang terjadi. Tak peduli  dengan etika, dengan norma-norma bercinta,  dengan sakral dalam percintaan. Aku hanya  peduli dengan kedua belah paha mulus yang  akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik  yang akan menjambak rambutku, telapak  tangan yang akan menekan bagian belakang  kepalaku, aroma semerbak yang akan  menerobos hidung dan memenuhi rongga  dadaku, kelembutan dan kehangatan dua buah  bibir kewanitaan yang menjepit lidahku, dan  tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang  harus kujilat berulang kali agar akhirnya  dihadiahi segumpal lendir orgasme yang sudah  sangat ingin kucucipi.  Di kolong meja, Mbak Lia membuka kedua belah  pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan  untuk meraba celah basah di antara pahanya.  Tapi ia menepis tanganku.  "Hanya lidah, Theo! OK?"  Aku mengangguk. Dan dengan cepat  membenamkan wajahku di G-string yang  menutupi pangkal pahanya. Menggosok- gosokkan hidungku sambil menghirup aroma  pandan itu sedalam-dalamnya. Mbak Lia  terkejut sejenak, lalu ia tertawa manja sambil  mengusap-usap rambutku.  "Rupanya kau sudah tidak sabar ya, Theo?"  katanya sambil melingkarkan pahanya di  leherku.  "Hm..!"  "Haus?"  "Hm!"  "Jawab, Theo!" katanya sambil menyelipkan  tangannya untuk mengangkat daguku. Aku  menengadah.  "Haus!" jawabku singkat.  Tangan Mbak Lia bergerak melepaskan tali G- string yang terikat di kiri dan kanan  pinggulnya. Aku terpana menatap keindahan  dua buah bibir berwarna merah yang basah  mengkilap. Sepasang bibir yang di bagian  atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus  clit yang berwarna pink. Aku termangu  menatap keindahan yang terpampang persis di  depan mataku.  "Jangan diam saja. Theo!" kata Mbak Lia sambil  menekan bagian belakang kepalaku.  "Hirup aromanya!" sambungnya sambil  menekan kepalaku sehingga hidungku terselip  di antara bibir kewanitaannya.  Pahanya menjepit leherku sehingga aku tak  dapat bergerak. Bibirku terjepit dan tertekan  di antara dubur dan bagian bawah vaginanya.  Karena harus bernafas, aku tak mempunyai  pilihan kecuali menghirup udara dari celah bibir  kewanitaannya. Hanya sedikit udara yang  dapat kuhirup, sesak tetapi menyenangkan.  Aku menghunjamkan hidungku lebih dalam lagi.  Mbak Lia terpekik. Pinggulnya diangkat dan  digosok-gosokkannya dengan liar hingga  hidungku basah berlumuran tetes-tetes birahi  yang mulai mengalir dari sumbernya. Aku  mendengus. Mbak Lia menggelinjang dan  kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya dalam-dalam, seolah vaginanya adalah nafas kehidupannku.  "Fantastis!" kata Mbak Lia sambil mendorong  kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia  tersenyum menatap hidungku yang telah licin  dan basah.  "Enak 'kan?" sambungnya sambil membelai  ujung hidungku.  "Segar!" Mbak Lia tertawa kecil.  "Kau pandai memanjakanku, Theo. Sekarang,  kecup, jilat, dan hisap sepuas-puasmu.  Tunjukkan bahwa kau memuja ini," katanya  sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yang  sebagian menutupi bibir kewanitaannya.  "Jilat dan hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa  kau memujanya. Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yang tersisa! Tunjukkan  dengan rakus seolah ini adalah kesempatan  pertama dan yang terakhir bagimu!"  Aku terpengaruh dengan kata-katanya. Aku  tak peduli walaupun ada nada perintah di  setiap kalimat yang diucapkannya. Aku  memang merasa sangat lapar dan haus untuk  mereguk kelembutan dan kehangatan  vaginanya. Kerongkonganku terasa panas dan  kering. Aku merasa benar-benar haus dan ingin  segera mendapatkan segumpal lendir yang  akan dihadiahkannya untuk membasahi  kerongkongannku. Lalu bibir kewanitaannya  kukulum dan kuhisap agar semua kebasahan  yang melekat di situ mengalir ke  kerongkonganku. Kedua bibir kewanitaannya  kuhisap-hisap bergantian.  Kepala Mbak Lia terkulai di sandaran kursinya.  Kaki kanannya melingkar menjepit leherku.  Telapak kaki kirinya menginjak bahuku.  Pinggulnya terangkat dan terhempas di kursi  berulang kali. Sesekali pinggul itu berputar  mengejar lidahku yang bergerak liar di dinding  kewanitaannya. Ia merintih setiap kali lidahku  menjilat clitnya. Nafasnya mengebu. Kadang- kadang ia memekik sambil menjambak  rambutku.  "Ooh, ooh, Theo! Theoo!" Dan ketika clitnya  kujepit di antara bibirku, lalu kuhisap dan  permainkan dengan ujung lidahku, Mbak Lia  merintih menyebut-nyebut namaku..  "Theo, nikmat sekali sayang.. Theoo! Ooh..  Theoo!"  Ia menjadi liar. Telapak kakinya menghentak- hentak di bahu dan kepalaku. Paha kanannya  sudah tidak melilit leherku. Kaki itu sekarang  diangkat dan tertekuk di kursinya.  Mengangkang. Telapaknya menginjak kursi.  Sebagai gantinya, kedua tangan Mbak Lia  menjambak rambutku. Menekan dan  menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak  hatinya.  "Theo, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap!"  Aku menjulurkan lidah sedalam-dalamnya.  Membenamkan wajahku di vaginanya. Dan  mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir  vaginanya, kedutan yang menghisap lidahku,  mengundang agar masuk lebih dalam. Beberapa  detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung  lidahku. Kuhisap seluruh vaginanya. Aku tak  ingin ada setetes pun yang terbuang. Inilah  hadiah yang kutunggu-tunggu. Hadiah yang  dapat menyejukkan kerongkonganku yang  kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalam- dalamnya agar dapat langsung menghisap dari  bibir vaginanya yang mungil.  "Theoo! Hisap Theoo!"  Aku tak tahu apakah rintihan Mbak Lia dapat  terdengar dari luar ruang kerjanya. Seandainya  rintihan itu terdengar pun, aku tak peduli. Aku  hanya peduli dengan lendir yang dapat kuhisap  dan kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, yang mengalir membasahi  kerongkonganku. Lendir yang langsung  ditumpahkan dari vagina Mbak Lia, dari pinggul  yang terangkat agar lidahku terhunjam dalam.  "Oh, fantastis," gumam Mbak Lia sambil  menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas  kursinya.  Ia menunduk dan mengusap-usap kedua belah  pipiku. Tak lama kemudian, jari tangannya  menengadahkan daguku. Sejenak aku berhenti  menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan  kewanitaannya.  "Aku puas sekali, Theo," katanya. Kami saling  menatap. Matanya berbinar-binar. Sayu. Ada  kelembutan yang memancar dari bola matanya  yang menatap sendu.  "Theo."  "Hm.."  "Tatap mataku, Theo." Aku menatap bola  matanya.  "Jilat cairan yang tersisa sampai bersih"  "Hm.." jawabku sambil mulai menjilati  vaginanya.  "Jangan menunduk, Theo. Jilat sambil menatap  mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola  matamu ketika menjilat-jilat vaginaku."  Aku menengadah untuk menatap matanya.  Sambil melingkarkan kedua lenganku di  pinggulnya, aku mulai menjilat dan menghisap  kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan- lipatan bibir kewanitaannya.  "Kau memujaku, Theo?"  "Ya, aku memuja betismu, pahamu, dan di atas  segalanya, yang ini.., muuah!" jawabku sambil  mencium kewanitaannya dengan mesra  sepenuh hati.  Mbak Lia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
PRODUK www.putrikecantikan.com BEST SELLER:
BalasHapusObat Pembesar Penis Herbal
Obat Kuat Pria
Obat Perangsang Wanita
Obat Penghilang Tato
Obat Peninggi Badan Herbal
Obat Penggemuk Badan Herbal
Obat Pelangsing Badan Herbal
Kecantikan
Pemutih Wajah Dan Tubuh
Alat Bantu Sex Wanita
Alat Bantu Sex Pria
Aneka Kondom Pria